Sewaktu mondok dulu, anak pertama dari empat bersaudara ini juga menyaksikan betapa Ustadz Abdullah Abdun, gurunya, sangat ta’zhim kepada guru tempat Ustadz Abdullah Abdun menimba ilmu agama dulu. Guru yang dimaksud adalah Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, pendiri Madrasah Al-Khairat, Palu, Sulawesi Tengah.
Bertahun-tahun lamanya Ustadz Abdullah Abdun berguru kepada Habib Idrus Al-Jufri. Setelah wafatnya Habib Idrus Al-Jufri, beberapa tahun kemudian Ustadz Abdullah Abdun menuliskan sebuah risalah yang berisi biografi sang Guru Tua, julukan bagi Habib Idrus bin Salim Al-Jufri.
Habib Abdul Qadir
merasa, apa yang dilakukan gurunya tersebut benar-benar dapat menjadi
manfaat bagi dirinya dan juga untuk orang banyak lainnya yang ingin
mengetahui perjalanan hidup Habib Idrus bin Salim Al-Jufri.
Di samping mengoleksi foto-foto, ia pun kemudian menemukan kebiasaan baru lainnya, yaitu mengoleksi manaqib para ulama dan habaib. Dengan membaca manaqib mereka, ia merasa lebih dekat dengan mereka.
Selain mengoleksi manaqib yang telah cukup banyak tertulis, ia juga mengoleksi kumpulan manaqib dari kutipan-kutipan ceramah para pembicara di acara-acara haul. Di acara-acara tersebut, biasanya pembicara mengisahkan perjalanan hidup orang yang sedang dirayakan haulnya. Merekam isi ceramah saat acara berlangsung adalah salah satu kiatnya untuk mengumpulkan kisah-kisah para habib dengan menggunakan tape recorder miliknya.
Pada akhirnya, Habib Abdul Qadir ini pun sekaligus sempat menjadi seorang kolektor kaset rekaman isi ceramah-ceramah keagamaan pula. Jumlah kaset yang dikoleksinya bertambah dari waktu ke waktu.
Dalam aktivitas merekam itu, ia selalu berusaha merekam selengkap mungkin. Sewaktu acara di
tempat Habib Anis Solo misalnya, ia merekamnya dari mulai acara rauhah, haul, hingga Maulid-nya. Sehingga kalau hadir di acara haul Solo, paling sedikit ia harus membawa lima buah kaset. Apalagi kalau ia hadir dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi SAW di Jakarta, yang berlangsung sekitar dua hingga tiga pekan lamanya. Sepulangnya dari Jakarta, ia bisa membawa sekurang-kurangnya 70 kaset hasil rekaman.
Kalau acara haul di Tegal dan Pekalongan, di masing-masing kota tersebut ia harus menyediakan minimal sekitar tujuh sampai delapan kaset.
Di samping koleksi foto-fotonya, koleksi kasetnya pun bertambah dari waktu ke waktu. Kendala yang dihadapi olehnya dalam mengoleksi kaset ternyata tidak sederhana. Dalam menatanya, butuh waktu yang tidak singkat. Ia perlu memutar dulu masing-masing kaset koleksinya untuk kemudian menandainya satu per satu. Maklum saja, pada saat awal ia mengoleksi kaset itu, teknologi suara digital belum terlalu akrab di kota tempat tinggalnya.
Belum lagi perawatan pada fisik kaset koleksinya. Bila tidak dirawat dengan baik, pita kaset akan menjamur. Hingga pernah suatu ketika sekitar 250 kumpulan koleksi kasetnya rusak termakan jamur.
Akhirnya ia sendiri mulai agak kewalahan menangani jumlah kaset rekamannya yang semakin banyak. Sementara dulu teknologi penyimpanan data digital tidak cukup mudah dijangkau seperti zaman sekarang. Sekarang semua orang dapat mengkonversi suara sebagai data digital dan kemudian dimasukkan pada media penyimpan data, seperti dalam hard disk, flash disk, CD, DVD, dan yang sejenisnya, dengan sebegitu mudahnya. Kalaupun dulu ada, harganya pun masih relatif sangat mahal.
Ia kemudian lebih memfokuskan diri pada koleksi foto saja. Banyak koleksi kaset rekaman yang ia miliki kemudian diserahkannya kepada sejumlah kawannya. Bukan dipinjamkan, tapi ia berikan begitu saja secara cuma-cuma. Ia berpikir, mungkin orang lain memiliki waktu dan konsentrasi yang lebih dibanding dirinya dalam memelihara kaset-kaset rekaman tersebut.
Ternyata koleksi foto-fotonya saja, yang kemudian dilengkapi dengan kumpulan manaqib para ulama, sangat bermanfaat sekarang ini. Sebuah perkataan yang terdapat dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, karya Syaikh Az-Zarnuji, kiranya dapat dengan tepat menggambarkan apa yang telah dijalani oleh Habib Abdul Qadir. “Sekadar kesusahan yang ditempuh seseorang, maka akan didapat apa yang dicita-citakan.”
Bingkai Besar di Atas Motor
Siapa yang mencari sesuatu secara bersungguh-sungguh, ia akan mendapatkan. Ungkapan ini juga termaktub dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim. Kesungguh-sungguhan Habib Abdul Qadir, yang juga ternyata seorang kolektor majalah alKisah dari sejak edisi pertama kalinya, telah teruji oleh waktu.
Banyak kisah suka duka yang dialaminya dari sejak ia menjalani aktivitasnya mengoleksi foto para habib. Pernah suatu kali ia mengetahui ada seseorang di daerah Pujon, Batu, Malang, yang memiliki foto Habib Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Menurutnya, pose Habib Muhammad Al-Maliki dalam fotonya itu unik dan menarik. Maka kemudian ia meminjam foto tersebut. Foto itu ada dalam sebuah bingkai besar yang ukurannya hampir seukuran pintu rumah.
Waktu itu ia hendak meminjam fotonya saja, tapi si empunya foto rupanya keberatan, karena khawatir akan rusak. “Kalau mau pinjam, silakan sekalian berikut bingkainya,” katanya.
Saat
itu ia pun kebingungan, dengan apa ia akan membawa bingkai sebesar
itu. Padahal ia hanya membawa sepeda motor. Akhirnya, ia, yang saat itu
berdua dengan seorang kawan, memutuskan untuk tetap membawa foto
berbingkai besar tersebut, sekalipun dengan menggunakan sepeda motor.
Di sepanjang perjalanan, ternyata membawanya cukup sulit, dan harus ekstra hati-hati, agar tidak terbentur kendaraan lain. Bebannya juga semakin berat karena tekanan angin yang mendorong bingkai foto tersebut.
Sesampainya di kota Malang, hujan deras turun secara tiba-tiba. Maka ia dan kawannya segera mencari tempat untuk berteduh. Lantaran begitu derasnya hujan, tempat berteduhnya pun terkena air hujan yang tampias. Air itu mengenai bingkai foto dan sempat merusak foto di dalamnya.
Setelah sampai di rumah, ia merepro foto tersebut dan mengganti foto yang rusak itu dengan sedikit proses di sana-sini.
Alhamdulillah, setelah dikembalikan, pemilik foto tersebut tampak senang menerimanya. Mungkin karena hasil foto repro barunya itu terlihat lebih bagus dari aslinya.
Setelah
kejadian itu, bukannya kapok, Habib Abdul Qadir malah semakin merasa
asyik dalam menjalani aktivitas memburu foto-foto para habib.
Nasib Baik
Suatu hari ia pernah tersasar di suatu desa di daerah Malang. Saat sedang duduk-duduk di depan sebuah rumah, ia sekilas melihat di dalam rumah tersebut terdapat foto habaib yang unik menurutnya. Namun ternyata penghuni rumah itu sedang tidak ada di rumah karena sedang bekerja.
Nasib Baik
Suatu hari ia pernah tersasar di suatu desa di daerah Malang. Saat sedang duduk-duduk di depan sebuah rumah, ia sekilas melihat di dalam rumah tersebut terdapat foto habaib yang unik menurutnya. Namun ternyata penghuni rumah itu sedang tidak ada di rumah karena sedang bekerja.
Biasanya, seusai kerja, yaitu sekitar pukul lima sore, penghuni rumah itu sudah sampai di rumah. Ia pun kemudian menunggu selama berjam-jam untuk menanti kedatangan penghuni rumah tersebut. Saat penghuni rumah itu datang, ia menyampaikan maksudnya untuk meminjam foto yang terpampang di dinding ruangan depan rumah milik orang tersebut.
Awalnya
si pemilik rumah tampak sedikit curiga. Wajar saja, karena dia merasa
tidak mengenalnya sama sekali. Namun setelah diterangkan secara
baik-baik, akhirnya ia diperbolehkan meminjam foto itu.
“Silakan bawa, tapi segera kembalikan lagi,” demikian pesan si pemilik foto.
“Bukannya saya berpikir tidak akan mengembalikan, tapi daerah itu sama sekali saya tidak tahu. Jangankan berpikir untuk mengembalikan foto itu, untuk kembali pulang ke rumah saja saya tidak paham,” ujarnya bercerita.
Akan tetapi karena ia memang niat meminjam, ia berjanji akan mengembalikan setelah ia merepronya.
Dengan sedikit bersusah payah akhirnya sampai juga ia di rumah.
Setelah foto itu direpro, ia pun memenuhi janjinya, mengembalikan foto tersebut. Seperti saat ia hendak pulang ke rumah, untuk mencari kembali rumah si pemilik foto itu pun ternyata menempuh waktu yang tidak sebentar. Namun akhirnya ia sampai juga di sana.
Apa yang dialami oleh Habib Abdul Qadir mengingatkan orang pada apa yang dikatakan Imam Syafi’i dalam salah satu diwannya, “Nasib baik dapat mendekatkan setiap perkara yang jauh. Nasib baik dapat membuka setiap pintu yang tertutup.”
Tentunya, nasib baik itu akan menjadi sempurna adanya bila berdasarkan niat yang baik pula, seperti halnya niatan yang ada dalam hati Habib Abdul Qadir dalam memelihara jejak-jejak peninggalan para salaf as-soleh.
Petikan:
Majalah alKisah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah dengan sopan jika tidak punya blog/ website silahkan pakai :
name/ URL > lalu isi URL-nya dengan akun yang anda miliki.
terimakasih atas kerja samanya